Akhir-akhir ini salah satu hadis yang banyak beredar dari satu gawai ke gawai yang lain adalah hadis yang diriwayatkan sahabat Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah, saat menimpakan ‘Ahah dari langit terhadap penduduk bumi, maka Allah memalingkan ‘Ahah itu dari orang-orang yang meramaikan masjid”.1 
 
Apa arti ‘Ahah, yang terdapat dalam hadis tersebut?. Mengutip salah satu pendapat disebutkan bahwa arti A’hah adalah bala atau malapetaka2. Semoga penjelasan sederhana ini bisa memberikan pemahaman. Dan perlu diingat bahwa kita tidak sedang ingin membicarakan level hadis ini, apakah sahih, hasan atau lemah. Karena sudah banyak yang mengkajinya. 
 
Tetapi jujur, pada satu sisi, hadis ini menjadi pukulan telak bagi para takmir dan pihak-pihak yang diberi amanah untuk mengelola masjid. Hadis ini seolah membuka fakta ketidakmampuan kebanyakan kita dalam mengoptimalkan potensi masjid. Jika oleh sebagian pihak hadis di atas dijadikan argumentasi pendukung bahwa hari ini kita dipaksa meninggalkan masjid. Maka, ijinkan kami menawarkan sudut pandang berbeda. Bahwa sejatinya, bukan hari ini saja kita meninggalkan masjid. Tetapi sudah sejak lama kita “meninggalkan” masjid. Tidak percaya?. Mari kita lanjutkan analisanya.
Jika kita mau jujur, hari ini fungsi masjid terbatas pada penyelenggaraan kegiatan ibadah. Seperti salat berjamaah, Jumatan, Salat Idul Fitri & Idul Adha, salat jenazah, penyembelihan kurban. Masjid kita juga difungsikan sebagai tempat pendidikan, seperti pengajian rutin dan juga pengajian dalam rangka peringatan hari besar Islam. Perhatikan dengan seksama, dari sekian kegiatan yang banyak diselenggarakan, kebanyakan hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan spiritual dan intelektual. Tetapi ada aspek penting yang hampir terlupakan, yaitu ekonomi dan kesejahteraan umat.
 
Contohnya seperti menyulap masjid sebagai pusat pemberdayaan ekonomi kaum duafa, dengan diadakan pembekalan ketrampilan, beasiswa pendidikan bagi anak putus sekolah dan tidak mampu yang ada di sekitar masjid. Jaminan kesehatan bagi orang yang rajin berjamaah di masjid. Atau mungkin pemberian modal usaha untuk para duafa. Adakah masjid yang demikian?. Mungkin sudah ada, tetapi harus diakui bahwa belum banyak yang mampu mengoptimalkan uang masjid untuk kemaslahatan umat seperti contoh di atas. Harus diakui bahwa uang masjid paling banyak tersedot untuk biaya perawatan masjid. 
 
Di tengah kondisi genting seperti hari ini, di mana wabah melanda dan memorak-porandakan tatanan sosial dan juga ekonomi masyarakat. Ada secercah harapan bahwa para takmir masjid bisa mengambil peranannya sebagai sentra penanganan wabah yang sangat strategis. 
 

Ya, masjid mampu mendata, siapa saja yang sudah terpapar virus dan belum. Jika kemudian ada yang harus diisolasi, kepengurusan masjid menjadi distributor kebutuhan pokok, sehingga upaya memutus rantai penularan bisa berjalan dengan baik. Masjid mampu memenuhi kebutuhan pokok saudara kita yang terkena kebijakan PHK besar-besaran yang terpaksa di ambil imbas terpuruknya ekonomi global dan nasional. Bahkan, di tengah pandemi ini, masjid menjadi tempat berlindung para masyarakat miskin untuk menyambung nafas kehidupan mereka. Bukan berlindung dalam arti berdiam diri atau bersembunyi di dalam masjid, tetapi masjid menjadi tempat menyalurkan donasi dari yang kaya kepada yang miskin dan membutuhkan. Semua kegiatan kemanusiaan itu dikontrol oleh mekanisme yang bernama sistem ketakmiran masjid.  

Bayangkan senyum para duafa saat keluar dari masjid, dan tangan mereka penuh dengan makanan dan kebutuhan pokok. Indah bukan?

 
Apakah sejarah pernah mencontohkan konsep masjid sebagai tempat berlindung orang miskin dan tidak mampu dari himpitan kesulitan hidup mereka?. Jika kita membaca sejarah Nabi, pastinya akan menemukan istilah “Ahl Al-Suffah”. Sebagaimana disampaikan oleh Akram Dliya’ Al-Umary, “Ahl Suffah” adalah orang-orang faqir dari kelompok sahabat Muhajirin dan juga orang-orang asing yang datang mengunjungi Rasulullah SAW untuk menyatakan keislaman mereka, bahkan juga ada beberapa sahabat Anshar. Mereka tinggal dan menetap di masjid Rasulullah SAW. 3 Lalu apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada mereka?. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ketika Rasulullah SAW mendapat hadiah, beliau makan bersama mereka para “Ahl Suffah”. Akan tetapi ketika Nabi mendapat sedekah, maka semua diberikan kepada mereka. 4
 
Inilah fungsi yang perlu kita aktifkan kembali saat wabah menerjang. Ya, masjid kita fungsikan sebagai fasilitas untuk membantu saudara kita yang membutuhkan. Ya, masjid kita fungsikan sebagai super market. Rak-rak di dalam masjid kita isi dengan bahan kebutuhan pokok yang bisa diambil oleh siapapun yang membutuhkan. Dan juga diisi oleh siapapun yang ingin meringankan beban saudaranya. Bukankah kita sudah terbiasa dengan sedekah nasi bungkus setiap Jumat?. Kenapa hari ini tidak diperbesar spektrumnya?. Insyaallah kita mampu dan yakinlah bahwa akan banyak yang bersedia membantu. 

 

Apakah berlebihan jika masjid, untuk sementara, kita fungsikan sebagai super market umat?

Jika hari ini memakmurkan masjid kita artikan, tidak hanya sebagai tempat salat dan Jumatan. Beban saudara kita yang terdampak wabah tidak akan begitu berat. Setidaknya saldo masjid yang menggelembung itu bisa dimanfaatkan dengan baik. Fungsi inilah yang mungkin perlu kita perdebatkan, dibanding, mohon maaf, memperdebatkan hukum salat jamaah dan Jum’at. (UFO).

  1. Ibnu Asakir I Tarikh Dimasq, Juz 17, Halaman 11 (Dar Al-Fikr, Beirut, 1995 M).
  2. Zainuddin Muhammad  I Faidul-Qadir, Juz 2, Halaman 208 (Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubro, Mesir, 1356 H).
  3. Akram Dliya’ Al-Umary I Al-Sirah Al-Nabawiyyah Al-Sahihah, Juz 1, Halaman 258 (Maktabah Al-Ulum wa Al-Hikam, Madinah, 1994 M).
  4. Syamsuddin Al-Qurthuby I Tafsir Al-Qurtuby, Juz 8, Halaman 108 (Dar Al-Kutub Al-Misriyyah, Kairo, 1964 M).

Ahmad Fajar INHADL, Lc. ME

Alumni Kuliah Dakwah Universitas Syaikh Ahmad Kuftaro Damaskus - Suriah dan Pascasarjana Ekonomi Syariah IAIN Kudus. Saat ini mengabdikan diri sebagai Ketua Komite Syariah di RS Islam Sultan Hadlirin Jepara. Aktif sebagai Pembina di Majlis Taklim Ashofa Jepara.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *