Aqsha SyarifDari lubuk hati yang tidak terlalu dalam, sejujurnya saya malu untuk menuliskan uneg-uneg yang selalu menghantui dan seolah menjadi tantangan dakwah tersendiri bagi saya. Uneg-uneg yang saya maksudkan adalah pengulangan tema klasik seputar Isra’ dan Mi’raj yang dilakukan beberapa juru dakwah dikota saya. Sekedar informasi, saya bukanlah seorang dai sempurna dan tanpa celah, juga bukan dai yang sering mengihas layar kaca anda atau bahkan channel Youtube. Tetapi menyuguhkan menu “itu-itu saja” kepada jamaah apakah bukan sesuatu yang membosankan?. Kekurangan ide dan tumpul kreatifitas adalah masalah pelik yang dihadapi sebagian kecil dai dikota saya.

Tema klasik yang saya maksudkan adalah “Kewajiban Shalat 5 Waktu” tiap momentum Isra’ Mi’raj. Jika dipetakan materi pidato para dai dimaksud berujung pada konklusi berikut : 1. Nabi Muhammad SAW dibawa Buraq dari Mekah menuju Palestina. 2. Sesampainya di Masjid al-Aqsha beliau didapuk menjadi imam para nabi dan rasul. 3. Naik menuju Sidratul Muntaha untuk menerima perintah shalat 5 waktu. 4. Pulang kembali ke Mekah, that’s all.

Tak jarang dalam keterangannya sebagian dai menceritakan pemandangan yang dilihat   Rasulullah SAW saat “visit” ke neraka dan beliau melihat betapa mayoritas penduduk neraka adalah perempuan, tanpa mau memaparkan dan menguraikan lebih detail kejadian dimaksud. Imbasnya banyak ibu-ibu dan jamaah pengajian berjenis kelamin perempuan yang sewot seraya berkata “Gae opo sregep ngibadah dan ngaji nek mengko bakale dicemplungno ndok neroko”. Saya menyebut hal ini sebagai blunder, maksud hati ini menyampaikan ajaran Nabi, tetapi karena “masaknya” kurang “perfect” berimbas pada produk dakwah yang “nyangkut” ditenggorokan.

Bukan bermaksud mengkritisi dan mengolok-olok pergerakan dakwah beserta semarak peringatan Isra’ Mi’raj di kampung halaman. Hanya saja, menurut sudut pandang subyektif saya terlalu sayang rasanya jika antusias dan semangat masyarakat menghadiri pengajian tidak diimbangi dengan materi yang powerfull dan colorfull. Simpelnya seorang dai harus pandai meramu materi dakwah agar selalu aktual dan “kagak basi”. Tujuannya tentu supaya materi dakwah yang disampaikan senantiasa “menapak bumi” dan tidak selalu “melangit”.

Bukan bermaksud menggurui, tetapi bukankah dijaman modern seperti sekarang kita bisa memperoleh bermacam referensi dari berbagai sumber terbuka?. Puluhan bahkan mungkin ratusan artikel “cool” sebagai upaya aktualisasi Isra’ Mi’raj “berserakan” diberbagai sumber terbuka. Contohnya seperti tema “Shalat : Metode Komprehensif Mengatasi Dekadensi Moral”, “Isra’ Mi’raj Ditinjau Dari Ilmu Pengetahuan Modern”, “Isra’ Mi’raj : Upaya Menyegarkan Kembali Ingatan Kita Terhadap Aqsha Yang Terlupakan” dan masih banyak materi inspiratif lainnya asal kita mau jeli menelaah permasalahan umat yang tidak akan habis meskipun dibahas setiap tahun.

Tidak adil bukan jika saya hanya mengkritik tanpa mau memberi contoh. Sebagai upaya untuk memberikan warna berbeda (sambil berharap semoga materi yang saya sampaikan mampu membuat para pembaca terkesan). Kali ini saya mengangkat tema Isra’ Mi’raj dari sudut pandang yang “sedikit” berbeda. Sebuah upaya untuk menggugah kesadaran kita semua bahwa “mereka” telah berhasil menjadikan kita “buih-buih” yang terombang-ambing dilautan. Siapa “mereka” yang saya maksud?, dan apa hubungan “mereka” dengan kondisi umat Islam saat ini?. Cekidot dan jangan pindah mata anda untuk melirik bacaan lainnya.

Secara eksplisit ayat 1 surat al-Isra’ menegaskan eksistensi dan peranan Masjid al-Aqsha. Jika boleh menyebut, Masjid al-Aqsha adalah tempat “persinggahan” Nabi Muhammad SAW sebelum memenuhi panggilan Allah SWT yang kemudian disebut “Mi’raj”. Ulama berpendapat bahwa penyebutan Masjid al-Aqsha dalam ayat tersebut bukanlah sebuah “kebetulan” belaka. Pastinya ada rahasia dan hikmah dibalik penyebutan tersebut. Sedikit menilik pendapat ulama, mereka berpendapat penyebutan Masjid al-Aqsha dalam ayat dimaksud adalah karena kemuliaannya disisi Allah SWT. Aqsha adalah tempat termulia ketiga setelah Masjid al-Haram (Mekah) dan masjid Nabawi (Madinah). Tidak hanya berhenti disitu saja, Baitul Maqdis (sebutan lain untuk Masjid al-Aqsha) juga “pernah” menjadi kiblat umat Islam sebelum dipindahkan ke Ka’bah. Kesimpulan sederhananya adalah bahwa Masjid al-Aqsha punya kedudukan yang tinggi dan mulia bagi umat Islam. Fakta sejarah menunjukkan realita itu, karenanya jika saat ini ada pihak-pihak yang secara terang-terangan menginjak kesucian al-Aqsha as-Syarif, maka hal ini sama halnya dengan merendahkan umat Islam disemesta alam.

Konflik Palestina adalah realita yang “memaksa” saya untuk membuka mata lebih lebar serta mencoba membaca kondisi negara disekitarnya. Ternyata tidak beda dengan Palestina, beberapa negara tetangganya juga sedang mengalami hal serupa. Sebut saja Suriah, Irak, Yaman dan beberapa negara di Timteng pada umumnya.

Bukan bermaksud mendramatisir, tetapi beberapa konflik yang terjadi di Timteng “seolah” menegaskan sebuah fakta. Fakta yang seharusnya menjadikan kita, seluruh umat Islam segera terbangun dari “tidur panjang” dan berbenah diri. Fakta yang saya maksud adalah rilis NSC (National Security Council) Amerika pada akhir tahun 1991. Rilis yang memuat bahaya eksistensi Islam bagi komunitas barat dan pentingnya melakukan upaya “mencabut Islam dari akarnya”. Sebagai realisasi dari program dimaksud, mereka menyusun 10 langkah strategis. Poin pertama dan yang paling berbahaya (menurut penilaian saya) adalah rencana mereka untuk “merangsang” tumbuhnya pertikaian ditubuh umat Islam. Senafas dengan rilis tersebut, pada bulan November Tahun 1992 Foreign Affairs Magazine (Majalah Kementrian Luar Negeri Amerika) memuat sebuah artikel yang menyebutkan bahwa “Jalan terbaik untuk menghancurkan Islam adalah dengan menyulut konflik internal antar negara-negar Islam di Timur Tengah (baca : politik adu domba)”. Menghancurkan Islam melalui tangan umatnya sendiri, itulah cita-cita mereka. Sadarkah kita bahwa saat ini rencana itu telah terwujudkan?.

Konflik internal yang “tumbuh subur” ditubuh umat Islam kemudian membuat kita “sibuk”. Sehingga kita “lupa” bahwa nasib saudara kita yang teraniaya di Palestina adalah juga merupakan tanggungjawab kita. Karenanya jangan heran jika banyak diantara umat Islam yang kemudian “menyerah” saat ditanya “Apa yang bisa anda perbuat untuk membantu saudara seiman kita di Palestina?”.

Karenanya, menurut saya peringatan Isra’ Mi’raj tidak boleh hanya menjadi seremoni rutin yang kita peringati dari tahun ke tahun. Momentum Isra’ Mi’raj harus mampu membuka mata dan hati kita untuk peduli dengan penderitaan saudara-saudara kita, khususnya di Palestina dan umumnya umat Islam teraniaya dibeberapa negara lainnya. Isra’ Mi’raj adalah media introspeksi bagi kita untuk selalu ingat firman Allah SWT “Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (TQS. al-Anfal : 46).

Kesimpulan yang ingin saya sampaikan dipenghujung note ini, umat Islam adalah umat yang satu. Perbedaan teritorial, warna paspor, suku, bahasa, aliansi politik tidak boleh menjadikan kita terpecah belah. Allah telah mempersaudarakan kita melalui ikatan keimanan. Karenanya jangan menutup mata dari penderitaan saudara kita di Palestina, Suriah, Yaman, Rohingnya dan negara-negara dimana umat Islam tertindas dan dihinakan. Kesulitan yang membekap umat Islam di Indonesia tidak boleh menjadikan kita egois dan kemudian enggan memikirkan nasib saudara kita disana. Kepedulian paling minim kita atas nasib mereka adalah tidak melupakan saudara kita saat memanjatkan doa kepada Allah. Mohon kepada Allah agar berkenan memberikan tambahan kesabaran, kekuatan dan ketabahan hingga Allah berkenan memberikan solusi sesuai dengan kehendak dan ridla-Nya.

Tulisan ini bukanlah upaya membakar semangat Jihad untuk kemudian angkat senjata dan berangkat ke negara konflik. Tulisan ini merupakan upaya sederhana untuk menumbuhkan “kembali” kepedulian kita atas nasib sesama muslim didunia. Semoga Allah SWT mengampuni dosa kita yang sibuk berkutat dengan urusan pribadi dan cenderung berpangku tangan dengan dalih “masalah kami juga banyak”. Semoga Allah berkenan mengembalikan kejayaan Islam dibumi-Nya dan semoga Allah berkenan melindungi umat Islam diseluruh penjuru dunia.


Ahmad Fajar INHADL, Lc. ME

Alumni Kuliah Dakwah Universitas Syaikh Ahmad Kuftaro Damaskus - Suriah dan Pascasarjana Ekonomi Syariah IAIN Kudus. Saat ini mengabdikan diri sebagai Ketua Komite Syariah di RS Islam Sultan Hadlirin Jepara. Aktif sebagai Pembina di Majlis Taklim Ashofa Jepara.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *