Renovasi Masjid

Rabu 22 Juli 2015 geliat aktivitas dilingkungan RSI Sultan Hadlirin mulai meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa karyawan yang cuti lebaran sudah mulai masuk kerja. Sejak dari rumah aku sudah niat dalam hati ingin menyelesaikan laporan keuangan masjid Syifaul Janan yang “pending” hampir 3 bulan. Adalah kegiatan Ramadhan yang cukup menguras banyak tenaga dan pikiran sehingga “memaksaku” untuk menunda rekap laporan bulanan keuangan masjid.

Saat sedang asyik berkutat dengan tumpukan kwitansi dan nota. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk ruanganku dengan mengucapkan salam terlebih dahulu. Beliau adalah Mr. X (nama disamarkan untuk kepentingan investigasi ha ha ha). Sambil membawa beberapa lembar kertas bertuliskan angka-angka yang tidak aku pahami, beliau secara pelan tapi pasti menceritakan keluh kesahnya kepadaku.

Sebagai mukadimah perjumpaan kami pagi itu, beliau mengawali dialognya dengan cerita tentang permasalahan internal dikeluarganya. Hal biasa dan lumrah yang terjadi disekitar kita. Perselisihan dan silang pendapat merupakan hal biasa yang terjadi dalam setiap interaksi manusia. Karenanya aku hanya memberikan sedikit nasehat bahwa masing-masing pihak yang berselisih harus pandai mengorbankan ego pribadi. Jika keduanya mau menurunkan tensi egonya, aku yakin duduk bersama dengan kepala dingin dihari nan fitri akan mampu mengurai benang kusut permasalahan yang dihadapi. Tapi bukan ini poin note yang ingin aku bicarakan bersama pembaca budiman.

Cerita berikutnya lebih menarik untuk aku ketengahkan. Adalah biaya fantastis yang sudah digelontorkan masyarakat desa beliau untuk membangun sebuah masjid. Perlu pembaca ketahui bahwa Mr. X ini tinggal disebuah desa yang “agak” dalam. Awalnya beliau berkeluh kesah bahwa tahun ini distribusi Zakat Fitrah kepada fakir miskin menurun dibanding tahun sebelumnya. Setelah saya tanya kenapa, dengan berat hati beliau menjawab bahwa “Zakat Fitrah tahun ini dilelang, dan uang hasil lelang digunakan sebagai tambahan biaya renovasi masjid”. Uedan…pekikku dalam hati. Dengan emosi yang agak “tersendat” aku beranikan diri untuk “mengeruk” cerita lebih banyak. Tujuannya agar pembaca memperoleh materi bacaan yang “agak” bermutu seperti note ini (he he he numpang iklan gan/sis). Jangan terlalu serius ditanggapi ya vro, es sirupnya diminum dulu deh biar adem.

Percakapan aku lanjutkan dengan sebuah pertanyaan sederhana, “Dulu motivasinya apa sie mas bangun masjid ditengah kampung kok segede itu?”. Dia menjawab “Kata Takmir sie agar mampu menampung kapasitas jamaah yang shalat di masjid”. Segera aku lanjutkan pertanyaanku “Lha emang ditempate jenengan kalo jamaah shalat 5 waktu sering overload yang “penumpangnya”?”. Dengan nada berat beliau menjawab “Enggak sie mas, mungkin maksud Takmir buat nampung jamaah shalat Ied kali ya?”, jawabnya dengan sedikit keraguan. Belum sempat aku tersadarkan dari kegelisahan dan kekagetan, tiba-tiba beliau berkata “Sekarang masyarakat kampung saya punya slogan “sedelok-sedelok ono tarikan”. Kalau diartikan kedalam bahasa Indonesia maksud slogan itu adalah “Sebentar-sebentar kok ada iuran masjid” (semoga saya tidak gagal menerjemahkan slogan dimaksud). Bahkan konon dikampung beliau ada “jumputan” 500 sampai 1000 rupiah per hari, apalagi jika bukan untuk merampungkan pembangunan masjid.

Ironi yang membuatku tak habis pikir adalah ternyata masjid yang belum jadi itu telah menghabiskan dana sebanyak 1.2 M. Mungkin uang 1.2 M “ngak banyak” bagi mereka yang tongkrongannya Alphard atau Lamborghini. Tapi bagi masyarakat yang hidup dikampung dengan mata pencaharian petani dan tukang kayu, nominal itu bukanlah jumlah yang sedikit. Saya yakin orang sekampung beliau belum pernah lihat uang sebegitu banyaknya, sama kayak yang nulis.

Kejadian diatas menarik untuk ditelusuri dan dipelajari dengan seksama. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan agar Islam tidak dijadikan “keset” oleh mereka yang mendewakan ego pribadi. Jujur, hati ini senang saat memandang masjid yang megah nan indah. Dan disaat yang sama aku benci dengan Takmir yang hobi menghamburkan kas masjid hanya untuk biaya perawatan masjid. Lha kok bisa?, bayangin aja bagunan masjid yang udah terlanjur bagus, pasti membutuhkan biaya perawatan yang ngak murah. Dalam konteks diatas, aku justru melihat bahwa masjid menjadi “beban” tersendiri bagi komunitas disekitarnya. Masjid yang jelas-jelas tempat mulia ber”transformasi” menjadi media perampas senyum fakir miskin dihari lebaran (maaf bahasanya terkesan hardcore he he he). Bukan masjidnya yang salah, tapi disadari atau tidak para takmir gagal memahami konsep manajemen masjid. Perlu di ingat juga bahwa akhir-akhir ini kita seringkali konsen terhadap bangunan fisik dan melupakan asas manfaat. Hingga tak jarang masjid yang masih berfungsi baik untuk kegiatan peribadatan “terpaksa” dirubuhkan dengan dalih “arsitekturnya udah kuno”, edan ngak tu?.

Konon Jepara mendapat julukan kota seribu masjid. Aku berani jamin bahwa anda tidak akan menemukan masjid dengan bentuk fisik jelek diseantero kota Jepara. Megah dan mewah adalah kesan para pelancong saat menginjakkan kakinya di Jepara dan melihat bangunan masjid dikota kami. Meskipun kemewahan bukanlah parameter tepat untuk menilai sebuah bangunan. Saya (i do’nt care jika dibilang primitif dan ngak keren) selalu melihat dan menilai segala sesuatu berdasarkan asas manfaatnya. “Tidak mampu menampung jamaah membludak saat shalat Idul Fitri” adalah dalih dan alasan rapuh untuk memugar masjid. Sewa tratak adalah solusi, atau kalau kurang luas bisa manfaatin lapangan bola atau alun-alun kecamatan. Ingat sahabat, Idul Fitri adalah momentum tahunan. Tidak adil rasanya “menghamburkan” miliaran rupiah hanya demi “kesenangan sesaat”.

Terkadang saya “bersyukur” saat pemerintah mengeluarkan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada Pasal 298 ayat 5 menjelaskan bahwa “Belanja hibah diberikan (salah satunya) kepada badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia”. Inilah yang kemudian menghentikan aliran dana hibah kepada masjid-masjid dan organisasi masa, kecuali yang sudah berbadan hukum Indonesia. Saya tidak tahu apa pertimbangan atau latar belakang keputusan itu, tapi saya berharap hal ini tidak “ditangisi” berlarut-larut. Tapi justru menjadi pemicu kreatifitas Takmir dan Nadhir untuk memberdayakan potensi yang dimiliki Masjid. Karena “kebetulan” saya diajak “ngerumati” BWI (Badan Wakaf Indonesia) Kab. Jepara. Saya mendorong kiranya para Takmir dan Nadhir mengupayakan agar masjid memiliki aset yang produktif, semisal tanah wakaf yang diberdayakan, mobil Elf, toko sembako dan atau apapun saja yang produktif. Konon di Semarang ada SPBU yang berdiri diatas tanah wakaf dan merupakan “bondho waqof”. Kebayang ngak jika masjid-masjid kita punya aset yang produktif?, pastinya saat Idul Fitri tiba masjid akan berlomba menciptakan senyum dibibir mereka yang tidak beruntung. Bukan sebaliknya, melukis duka dan nestapa dihari nan fitri. Konsepnya sudah ada, dan bahkan didukung fatwa banyak pakar fikih tingkat nasional dan internasional. Masalahnya Takmir kita mau apa kagak belajar dan menerapkan konsep dimaksud?. Unik bukan kondisi masjid di Jepara?.

Tak kalah serunya dari cerita diatas. Saat lebaran saya pernah menerima tamu. Seorang pemuda yang sedang belajar dakwah. Dia prihatin karena masjid dikampungnya dijadikan ajang untuk “menunjukkan” pertikaian dan perpecahan antar umat Islam hanya karena perbedaan aliran Thariqah. Saat kyai A yang bertahriqah Naqsbandiyyah menjadi imam, maka pengikut kyai B yang berthariqah Qadiriyyah tidak mau jamaah dimasjid, dan sebaliknya. Kenapa hal ini terjadi?, karena masing-masing merasa thariqahnya lebih tinggi “nasabnya” dibanding thariqah saudaranya.

Kejadian unik berikutnya adalah cerita seorang sahabat di Pemda bahwa sekarang para pengurus masjid “berani” menolak kunjungan Safari Jumat Bapak Bupati Jepara. Alasannya karena kegiatan Safari Jumat sudah tidak lagi “berhadiah”. Biasanya saat bersafari jumat Pak Bupati meninggalkan bantuan dana untuk masjid dengan nominal yang cukup lumayan. Imbas UU diatas sekarang beliau tidak lagi “ninggali” sumbangan. Sungguh perilaku aneh dan lucu, sejak kapan kita menilai seorang tamu dari oleh-oleh yang dia bawa?. Seandainya masjid menjadi institusi sosial masyarakat yang berkecukupan dan berkelebihan. Maka saya yakin mental pengurusnya bukan lagi mental “penadah sumbangan”.

Terakhir saya ingin meminjam filosofi Kyai Anwar Zahid “Segala sesuatu itu terasa enak ketika berdesak-desakan. Peci akan terasa nyaman dipakai manakala pas dan tidak “lobok” dikepala. Sama halnya masjid, semakin sesak dan berdesak maka semakin nikmat ibadah kita”. Kagak percaya analogi Kyai Anwar Zahid?, silahkan tanya mereka yang berdesakan saat ibadah di Haram Mekah dan Madinah. Apakah desak-desakan membuat ibadah mereka kehilangan “rasa”?, tidak sahabat. Disana bukan keindahan masjid yang menjadi daya tarik, tetapi kekuatan ruhani saat hati terkoneksi dengan Allah SWT. Kekuatan ruhani inilah yang harus kita tumbuhkan setiap kita menginjakkan kaki dimasjid kampung kita. Semoga Allah mengampuni kecerobohan kita semua dalam mengelola “rumah-Nya”.


Ahmad Fajar INHADL, Lc. ME

Alumni Kuliah Dakwah Universitas Syaikh Ahmad Kuftaro Damaskus - Suriah dan Pascasarjana Ekonomi Syariah IAIN Kudus. Saat ini mengabdikan diri sebagai Ketua Komite Syariah di RS Islam Sultan Hadlirin Jepara. Aktif sebagai Pembina di Majlis Taklim Ashofa Jepara.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *