Jujur saja ada imbas Covid-19 yang lebih perlu kita antisipasi dibandingkan jatuhnya perekonomian negeri ini. Adalah konflik horizontal imbas ketidakdewasaan kita dalam mengolah informasi yang beredar dari gawai ke gawai. Kenapa konflik lebih berbahaya?. Karena konflik berpotensi memporakporandakan persatuan yang merupakan modal utama untuk membangun kebesaran negeri ini. Tanpa persatuan, sebesar apapun cita hanya akan menjadi angan semu belaka.
 
Urgensi persatuan dan menghindari perpecahan tertuang dalam firman Allah, surat Ali Imran ayat 103 yang artinya: “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”
 
Rasulullah SAW juga memperingatkan kita untuk tidak menjadi orang yang gemar berdebat melalui pesan beliau: “Manusia yang paling dibenci Allah adalah yang keras kepala dan suka membantah” (HR. Bukhari).
 
Salah satu isu paling menarik untuk dibicarakan akhir-akhir ini adalah fatwa MUI Pusat nomor 14 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Detailnya bisa diunduh karena telah bertebaran di jagat maya.
 
Saya pribadi tidak sedang ingin mengomentari isi fatwa di maksud. Tetapi ingin berbicara tentang reaksi yang timbul di tengah masyarakat menyikapi fatwa tersebut. Berdasarkan pengamatan, setidaknya ada 2 kubu yang bertentangan di jagat maya menyikapi fatwa tersebut. Kubu yang mendukung dan kubu yang belum bisa menerima fatwa dimaksud. 
 
Uniknya kedua kubu menjadikan media sosial sebagai medan pertempuran untuk saling hujat dan melemparkan caci-maki yang seolah menjadi hal lumrah akhir-akhir ini. Padahal luka pasca PILPRES belum sembuh benar, dan hari ini kita kembali mengulang skenario serupa. Ya, tercerai berai imbas Covid-19. 
 
Tidak bisakah kita sedikit menahan diri dan berlapang dada dengan perbedaan?. Atau tidak bisakah kita menepikan ego pribadi dan melihat perjuangan kawan-kawan kita, para tenaga kesehatan yang menyabung nyawa untuk menanggulangi penyebaran virus yang kian hari trennya semakin meningkat?. 
 
Kawan-kawan kita di garda depan ini harus kita dukung dengan berbagai cara dan sesuai kapasitas sosial kita masing-masing. Jangan justru berseloroh “Itu kan tugas mereka sebagai tenaga kesehatan”. Atau killing words lainnya seperti “Bukankah untuk itu mereka digaji?”
 
Ketika WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, maka saat itu setiap individu bertanggungjawab untuk mengambil aksi nyata demi memutus rantai penyebaran virus. Jika tidak bisa membantu atau berkontribusi meringankan tugas kawan-kawan kita yang sedang berjuang. Setidaknya jangan menambah pelik permasalahan dengan perdebatan yang tak ada gunanya ini.
 
Ya, konflik horizontal, itulah yang lebih menakutkan dari Covid-19. Pertikaian hanya akan menambah rumit upaya penanggulangan Covid-19. Mari saling menghormati dan tetap jaga persatuan dalam perbedaan. Covid-19 bisa dikalahkan dengan persatuan dan kesatuan visi. Mampukah kita?. 
 
Sebagai bahan renungan, mari kita simak pesan Imam Auzai, sebagaimana termaktub dalam buku Tarikh Dimasq karya Imam Ibnu Asakir (Juz 35/ Halaman 201), beliau berkata “Saat Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka Allah akan menjadikan mereka gemar berdebat dan menghalangi mereka untuk melakukan aksi”.

Ahmad Fajar INHADL, Lc. ME

Alumni Kuliah Dakwah Universitas Syaikh Ahmad Kuftaro Damaskus - Suriah dan Pascasarjana Ekonomi Syariah IAIN Kudus. Saat ini mengabdikan diri sebagai Ketua Komite Syariah di RS Islam Sultan Hadlirin Jepara. Aktif sebagai Pembina di Majlis Taklim Ashofa Jepara.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *