Mungkin namanya tak se-viral Mukidi, tetapi bagi saya cerita kehidupannya adalah teladan. Dengan gaji yang tak seberapa dia punya cita-cita yang luar biasa. “Biasanya sehari kalau pas rame bisa dapat 50 ribu mas”, tuturnya saat sarapan pagi bersama saya. Beliau adalah Pak Pardjo, olehku beliau biasa aku panggil Pak Jo.

Pagi itu, sebelum berangkat ke kantor, aku mampir di warung pecel langganan. Warung yang terletak di sudut pertigaan tempat nongkrong tukang becak dan kuli di kotaku. Dan tak sengaja aku bertemu beliau di lokasi “kongkow” favorit para penarik becak.

Seiring perkembangan jaman dan semakin banyaknya sepeda motor yang memadati jalanan. Eksistensi para penarik becak hanya terbatas pada area sekitaran pasar dan alun-alun. Realita inilah yang menjadikan banyak penarik becak “pensiun dini”. Tetapi nampaknya hal tersebut tak berlaku bagi Pak Jo. Meskipun anak-anaknya sudah “mentas” dan memiliki pekerjaan yang bisa di bilang mapan, beliau tetap melakukan rutinitas hariannya. Bahkan beliau menyebutnya sebagai ibadah dan upaya menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.

Pagi itu, entah darimana asalnya, tiba-tiba saja timbul keinginan kuat dalam hati untuk bertanya cita-cita Pak Jo. Dengan pekerjaan yang seadanya, saya hampir yakin bahwa banyak sekali keinginan dan cita-cita dalam hidupnya yang belum tercapai. Kegundahan inilah yang mengusik hati saya untuk mencari tahu lebih banyak.

“Apa kabar pak?”, tanyaku sambil menghampiri beliau. “Alhamdulillah mas, jenengan gimana kabarnya?. Kok jarang kelihatan sekarang?”, jawab beliau. “Sibuk ngurus kerjaan di kantor pak”, jawabku sekenanya sambil mencomot pisang goreng panas yang terhidang didepanku. Sambil menikmati secangkir kopi, aku lihat dengan seksama muka orang tua yang duduk di sampingku. Tak terlihat rasa lelah dan kalah menghadapi getirnya hidup. Beda denganku, yang meski baru berkepala 3 sudah nampak kelelahan menghadapi liku kehidupan.

“Eh pak, mau nanya-nanya boleh?”, tanyaku membuka dialog. “Tentang opo to mas?”, jawab beliau sambil balik bertanya. “Ya, tentang kehidupan bapak lah”, kataku. “Wah, lha saya ini apa, “motipator” bukan, publik figur juga bukan, artis apalagi. Kok mau ditanya liku kehidupannya”, pungkasnya sambil menikmati kopi yang mulai dingin. Aku berusaha meyakinkan beliau seraya berkata “Pak, saya punya keyakinan bahwa masing-masing manusia diberi keistimewaan hidup oleh Allah. Karenanya saya yakin juga jalan hidup jenengan pasti istimewa”, pungkasku. “Baiklah, akan saya jawab sebisa dan semampu saya ngeh?”, dan akhirnya Pak Jo menyerah.

Pertanyaan pertama yang aku tanyakan adalah cita-cita atau keinginan apa yang ingin beliau wujudkan dalam hidup. Beliau menjawab sambil menundukkan kepala menjawab “Pakai kain ihram sambil Thawaf di depan Ka’bah mas”, jawabnya. “Maksudnya tindak Haji pak?“, tanyaku melakukan klarifikasi. “Iya mas, karenanya setiap bulan Dzul Hijjah, saat mendengar suara Talbiyah (Labbaika allahumma labbaik…) hati saya selalu rindu dan membayangkan Kabah terhampar didepan mata. Setiap shalawat dikumandangkan hati saya selalu terbang ke Madinah. Merindukan bersimpuh di hadapan Kanjeng Nabi dan mengadukan semua keresahan dan kerinduan yang membuncah di dalam hati. Itu cita-cita hidup saya mas”, pungkasnya.

Mendengar jawaban beliau, aku hanya “ndomblong” kehabisan kata dan entah harus kursus di mana agar bisa merangkai kata melanjutkan perbincanganku dengan beliau. Luar biasa betul orang ini, cita-citanya sungguh mulia. Melihatku kehabisan kata, beliau hanya tersenyum dan berkata “Kopinya di unjuk mas, biar ngak gagal fokus he he he”, katanya sambil tersenyum. Belum sempat aku membuka mulut menanggapi guyonan yang terlontar. Beliau kemudian melanjutkan ceritanya, “Tapi jangan disalah pahami lho mas, bahwa untuk bisa ke sana saya kudu menghalalkan segala cara. Tidak mas, bagi saya kita bisa kok “berhaji” dari Indonesia”, pungkasnya. Belum sempat aku menanyakan maksud beliau, suara seorang wanita memanggil, bermaksud minta tolong diantarkan ke pasar. Dan dengan segera Pak Jo bangkit dari duduknya dan meninggalkan aku dengan sejuta tanya dalam dada.

Cerita ini bukan untuk ditiru seutuhnya, karena saya yakin pembaca tidak banyak yang tertarik menjadi tukang becak dan atau sejenisnya. Dan hal yang tidak perlu ditanyakan adalah dimana letak warung kopi tempat saya dan Pak Jo “nongkrong”. Karena bukan itu esensi cerita yang ingin saya sampaikan. Poin yang ingin saya sampaikan adalah seringkali kita lupa atau lebih tepatnya kurang peka, bahwa ternyata di sekitar kita banyak sekali ibadah, baik yang bersifat individu maupun sosial dengan nilai pahala yang sangat luar biasa. Seringkali kita silau dengan gemerlap ibadah dengan biaya berpuluh juta. Tapi lupa bahwa ada ibadah yang murah dan bahkan gratis tapi bernilai luar biasa di hadapan Allah. Saya jadi bertanya dalam batin, jangan-jangan kita beribadah sesuai keinginan kita (baca : hawa nafsu). Bukan seperti yang dikehendaki dan diinginkan Allah.

Saya teringat cerita tentang Abdullah Ibnu Mubarak yang membatalkan Haji sunahnya gara-gara seorang gadis yang tak mampu makan dan harus menghidupi ke tiga adiknya. Beliau sedekahkan ongkos berhajinya demi berbagi dengan sesama. Sama halnya dengan cerita tentang Said bin Quhafah, seorang tukang sol sepatu dari Damaskus yang menyedekahkan ongkos hajinya untuk tetangganya yang tak beruntung. Apakah mereka, tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas tidak merasa berat melakukan hal tersebut?. Entahlah, tetapi bagi mereka ibadah yang benar adalah seperti yang dikehendaki oleh Allah. Bukan seperti yang kita inginkan dan kehendaki. Jadi bagaimana menurut anda?.


Ahmad Fajar INHADL, Lc. ME

Alumni Kuliah Dakwah Universitas Syaikh Ahmad Kuftaro Damaskus - Suriah dan Pascasarjana Ekonomi Syariah IAIN Kudus. Saat ini mengabdikan diri sebagai Ketua Komite Syariah di RS Islam Sultan Hadlirin Jepara. Aktif sebagai Pembina di Majlis Taklim Ashofa Jepara.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *