Kira-kira apa muncul dalam benak kita setiap kali peringatan hari Kartini?. Bila boleh menebak, kebanyakan dari kita pasti akan mengingat istilah “emansipasi” wanita yang kala itu diperjuangkan oleh R.A. Kartini.

Apa itu emansipasi?. Bila kita merujuk KBBI, emansipasi diartikan sebagai pembebasan dari perbudakan atau persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria).

Untuk bisa memahami secara utuh, maka kita harus kembali memutar memori dan melihat dari dekat bagaimana R.A. Kartini hidup kala itu, termasuk juga bagaimana lingkungan tempat R.A. Kartini hidup. Jika kita sudah mendapat gambaran yang utuh, maka dengan mudah kita akan bisa menarik benang merah bagaimana pemahaman emansipasi kala itu serta korelasinya zaman now.

Tetapi, menurut hemat penulis, yang lebih menarik adalah tentang bagaimana perspektif Islam tentang emansipasi?. Apakah sejalan atau justru bertentangan. Inilah poin yang akan kita bicarakan dalam peringatan tahun ini.

Islam telah menetapkan kesetaraan sebagai prinsip umum di antara semua orang, dan Allah Swt. menjadikannya sebagai penopang semua hukum dan aturanNya yang mengatur hubungan masing-masing individu, baik pria maupun wanita. Dan bentuk apresiasi Allah terhadap nilai-nilai kemanusiaan adalah menghormati umat manusia dengan dua jenisnya (laki-laki dan perempuan) tanpa diskriminasi antara keduanya.

Itulah kenapa dalam akidah umat Islam diyakini secara pasti bahwa manusia setara menurut ciptaan pertama mereka. Dan faktor pembeda antar manusia ditentukan oleh takwa dan amal salih masing-masing individu, baik laki-laki ataupun perempuan. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt. : “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”, (TQS. An-Nisa : 4/1).

Allah Swt. memuliakan pria dan wanita dengan menetapkan prinsip yang sama tanpa diskriminasi, mengatur pahala dan hukuman untuk ketaatan dan kemaksiatan, karena mereka setara dalam urusan pahala dan dosa. Allah SWT berfirman: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan”, (TQS. Ali Imran: 3/195).

Terkait hak, Islam juga tidak mendiskreditkan perempuan untuk kemudian mengunggulkan pria, sebagaimana anggapan beberapa kalangan yang tidak utuh memahami ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam firman Allah SWT: “Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut.”, (TQS. Al-Baqarah : 2/ 195).

Jika demikian, apakah itu berarti laki-laki dan perempuan sejajar ya?. Tidak juga, dalam konteks tertentu laki-laki dan perempuan dibedakan oleh Islam. Hal ini lebih karena latar belakang biologis kodrati yang tidak sama. Dalam konteks ini, ketika kaum wanita disamakan dengan pria, malah akan merugikan pihak wanita. Sebaliknya, pria, secara kodrati, juga mustahil disamakan dengan wanita, akibat realita kewajiban masing-masing.

Contoh paling sederhana dari konteks ini adalah terkait kewajiban mencari nafkah. Islam membebankan kewajiban ini kepada laki-laki, bukan perempuan. Sebagaimana kewajiban berjihad (perang), dibebankan kepada laki-laki bukan perempuan. Dan masih banyak contohnya, seperti menjadi wali bagi anak perempuan hingga yang paling sederhana seperti menjadi imam salat.

Perbedaan ini tidak seharusnya dijadikan sebagai sumber perpecahan dan petaka. Karenanya masing-masing dari laki-laki dan perempuan perlu memahami dan melihat konteks ini dari perspektif agama. Perbedaan ini adalah ketentuan Allah dan diciptakan agar masing-masing saling mengisi dan melengkapi kekurangan sesama. Sehingga terciptalah harmonisasi antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan tugas untuk memakmurkan bumi Allah.

Semangat ini terlihat dari pesan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah RA, nabi berpesan: “Sesungguhnya wanita adalah saudara kandung laki-laki”. 

Maksud dari “saudara kandung” dalah hadis adalah bahwa laki-laki dan perempuan merupakan partner yang setara. Contoh terapan kaidah ini dalam kehidupan berumah tangga adalah budaya saling menasehati dalam kebaikan. Suami dan istri senantiasa bahu-membahu menjalankan ketaatan dan menjauhi larangan Allah. Istri tidak perlu segan atau ragu memberikan nasehat jika suami melakukan kesalahan. Begitu juga suami, tidak boleh merasa paling berkuasa, paling “imam” dan paling benar, sehingga emoh mendengar nasehat istrinya.

Jadi, sejatinya Islam sudah menempatkan laki-laki dan perempuan secara ideal. Bila ada ketidaksesuaian bisa dipastikan itu adalah karena kurangnya pemahaman terhadap firman Allah dan sabda RasulNya.

Selamat Hari Kartini. Semoga semangat R.A. Kartini selalu hidup dalam jiwa perempuan Indonesia. Semangat untuk melepaskan diri dari ketertinggalan, kebodohan dan hal-hal yang menghambat prestasi seorang perempuan. Ingat, Islam sangat konsen dengan pendidikan dan prestasi wanita, karena dari wanita yang hebat akan lahir generasi hebat yang akan membesarkan Islam di masa yang akan datang.


Admin

Santri yang sedang belajar menulis. Khadim Majlis Taklim wal Irsyad "Asshofa" Jepara.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *